Janji politik

Setiap orang memiliki hak mutlak untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih partai atau tokoh yang paling cocok di hati, dan semoga juga di pikiran. Dari beberapa kali pemilu setelah reformasi 1998 saya melihat banyak orang yang memilih berdasarkan faktor hati. Misalnya, ada yang memilih seseorang karena dia ganteng atau cantik, karena tegas, karena saleh (atau tampak saleh), karena dari agama yang sama, atau dari suku yang sama. Janji-janji politik dan rekam jejak tidak menjadi faktor penentu, karena itu ketika partai politik atau sang tokoh tidak menepati janjinya tidak ada yang menagih atau menuntut.

Ada hal yang berbeda di tahun politik ini. Tiba-tiba janji politik Jokowi dibahas lagi dan ditagih. Mendadak sontak lini masa penuh dengan tuduhan bahwa Jokowi berbohong karena tidak menuntaskan janjinya. Ada kesalahan berpikir di sini yang berasal dari lemahnya pendidikan bahasa Indonesia di sekolah dan di rumah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berbohong adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar. Ada niat tidak baik dari orang yang berbohong. Misalnya, saya menulis di bio data bahwa saya pernah kuliah di Inggris padahal saya tidak pernah sekolah ke luar negeri. Itu bohong, tidak benar. Janji, termasuk janji politik, adalah sesuatu yang ingin dilakukan, ada niat untuk melaksanakan janji. Ketika janji itu tidak terlaksana, atau belum terlaksana semua, maka orang yang berjanji tidak bisa dikatakan berbohong. Apalagi dalam perkara Jokowi ini sebagian besar janjinya sudah terlaksana. Jadi ia tidak berbohong melainkan belum menuntaskan janjinya. Janji politik memiliki banyak elemen pendorong dan penghambat, ini harus kita pahami bersama. Jokowi harus kita kritik karena belum menuntaskan janjinya, bukan karena berbohong.

Di lain pihak, Ratna Sarumpaet sudah berbohong dengan dongeng mengenai pemukulan yang mengakibatkan lebam-lebam di wajahnya. Dan Prabowo ikut membesarkan kebohongan itu dengan melakukan jumpa pers khusus mengenai hal itu.

Sandiaga Uno sudah berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia, atau perusahaannya, membangun jalan tol Cipali tanpa utang. Padahal jejak digital secara gamblang merekam fakta tahun 2013 mengenai kredit sindikasi 22 bank senilai Rp 8,8 triliun yang dipimpin oleh BCA dan Bank DKI untuk mendanai proyek jalan tol tersebut.

Politik membuat manusia kehilangan nalar dan rasa malu. 

Batu Belig, 4 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah