Jusuf Ronodipuro

Bapak, demikian saya dan keluarga memanggilnya. Saya akan terus menuliskan nama ini dengan B besar walaupun ia bukan jenderal besar. Ucup, demikian ibu mertua saya biasa memanggilnya. Suatu panggilan yang terdengar "imut" di telinga saya.

Bapak "Ucup" akhirnya meninggalkan kami pada hari Minggu, tanggal 27 Januari 2008, pukul 23.20 di RSPAD Gatot Soebroto, dalam usia 88 tahun. Bapak telah mondok di ruang ICU RSPAD sejak tanggal 14 Desember 2007 karena mengalami kesulitan pernafasan. Perjalanan panjang Bapak dari rumah sakit ke rumah sakit dimulai dari tanggal 5 Juni 2007 setelah terserang stroke iskemik. Tendangan dan siksaan kempetai Jepang tanggal 17 Agustus 1945 tidak bisa menghentikan perjuangannya, tetapi serangan stroke ini akhirnya membuat Bapak harus berhenti dan menjalani hari-harinya di tempat tidur. Suatu hal yang sangat menyiksa untuk seorang Bapak yang sampai hari-hari terakhir sebelum sakit masih aktif di Dewan Harian Nasional Angkatan 45 dan beredar di berbagai forum diskusi.

Sejak bulan Juni itu saya menjadi sangat dekat dengan Bapak. Bapak gemar bercerita tentang pengalamannya di jaman perjuangan, tetapi tanpa pernah ada kesan menyombongkan diri. Bapak bercerita tentang peristiwa di tahun 1951 di mana ia berhasil membujuk Bung Karno untuk membaca ulang proklamasi supaya bisa direkam. Ketika saya berdecak kagum, Bapak berkata "Tidak ada yang hebat di sini. Kebetulan saja RRI baru membeli peralatan rekaman baru dan pada waktu bertemu Bung Karno di istana mendadak timbul ide untuk merekam suara Bung Karno membacakan proklamasi. Jadi, kejadian ini tidak direncanakan sama sekali." Pada saat Bapak menyampaikan ide mendadak tersebut kepada Bung Karno ia malah dimarahi. "Proklamasi itu hanya satu kali!", demikian kata Bung Karno. Bapak langsung menciut hatinya, tetapi tetap tidak mau mundur. "Betul, Bung. Tetapi saat itu rakyat tidak mendengar suara Bung," rayu Bapak. Akhir cerita, Bung Karno mau disuruh Bapak untuk merekam suaranya. Bagi saya, ini adalah ungkapan kesederhanaan dan kerendahan hati Bapak yang luar biasa. Orang lain mungkin akan segera berkoar-koar membanggakan dirinya, seperti misalnya bung Roy Suryo yang kerap mengaku menemukan sesuatu. Setelah mendengar cerita Bapak itu baru saya paham mengapa tanggal yang tertera pada naskah proklamasi dan tanggal yang dibacakan oleh Bung Karno dalam rekaman yang selalu diputar setiap tanggal 17 Agustus tidak sama. Pada naskah proklamasi tertulis tanggal 17 Agustus 05 sesuai penanggalan Jepang (tahun 2605), sedangkan dalam rekaman suara disebutkan 17 Agustus 1945. Selain itu, kalau kita mendengar rekaman suara itu tidak tertangkap greget semangat Bung Karno seperti dalam orasi-orasinya.

Selain cerita itu, Bapak berulangkali menceritakan peristiwa yang terjadi pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945 di gedung radio militer Jepang, Hoso Kyoku. Kejadian ini sudah banyak dikisahkan di berbagai publikasi. Yang ingin ditegaskan oleh Bapak adalah peran Syahruddin, seorang wartawan Domei yang melompat pagar tembok di sisi Tanah Abang untuk menyampaikan pesan dari Adam Malik agar menyiarkan naskah proklamasi yang sudah dibacakan pada pagi harinya. Bapak merasa perlu menceritakan ini untuk membantah pernyataan Des Alwi yang mengatakan bahwa ia lah yang menyerahkan naskah tersebut kepada Bapak. Pernyataan Des Alwi ini bahkan dituliskan secara gamblang dalam buku biografinya yang baru saja diterbitkan oleh Cornell University Press dan diluncurkan pada peringatan ulang tahun Des Alwi yang ke-80. Kutipan dari buku tersebut "By seven o'clock the morning of the August 17, we were ready. The area around the radio station was tightly guarded by the Heiho, so we had to enter the station by jumping the back fence on the Tanah Abang side. I went in first, and all was quiet within. We were prepared to broadcast the text of the proclamation at 10.00 a.m. However, when Rahardi Usman jumped the fence he accidentally dropped his pistol, which went off with a loud noise. The others jumped back over the fence and ran away, while being chased by several Heiho. I, who was already inside, quickly gave the text to Jusuf Ronodipuro, but he only succeeded in broadcasting it that evening." Bapak mengatakan ia tidak pernah bertemu Des Alwi sama sekali pada hari itu, dan adalah Syahruddin yang menyerahkan naskah pada sore hari menjelang magrib. Syahruddin sendiri sudah meninggal dunia tidak lama setelah itu. Secara logika sulit dipahami bahwa Des mengaku memberikan naskah tersebut kepada Bapak tetapi Bapak mengaku menerima naskah tersebut dari tangan Syahruddin. Pada saat saya membacakan cuplikan paragraf buku Des kepada Bapak, saya menawarkan untuk melakukan klarifikasi melalui surat pembaca di majalah Tempo. Tetapi Bapak tetaplah Bapak yang sederhana dan tidak mau menonjol. Sambil melemparkan senyum khasnya ia berkata "Sudahlah, untuk apa." Bapak mengatakan, ia baru akan menyatakan pendapat setelah melihat, memegang dan membaca langsung buku Des tersebut. Sambil bergurau saat itu Bapak bahkan mengatakan "Mungkin nanti setelah saya meninggal Des akan mengatakan bahwa dia lah yang membacakan naskah proklamasi melalui radio pada tanggal 17 Agustus 1945." Suatu ucapan satir khas Bapak. Sayangnya, sampai Bapak menutup mata saya tidak berhasil mendapatkan buku itu. Pada hari pemakaman Bapak saya sempat bertemu dengan pak Rushdy Hoesein dan mas Doddy Partomiharjo yang menceritakan bahwa ternyata peran Syahruddin dan claim Des ini sudah menjadi keprihatinan Bapak sejak lama.

Menjelang 17 Agustus 2007 mulai banyak media yang menghubungi Bapak untuk permintaan wawancara. Saya secara bergurau mengatakan bahwa Bapak adalah selebriti musiman yang laku hanya sekitar pertengahan Agustus. Mengingat banyaknya permintaan wawancara, untuk topik yang sama, serta kondisi kesehatan Bapak, saya terpaksa harus mengatur jadwal yang tidak melelahkan Bapak. Saat itu, kepada teman-teman wartawan yang datang dan menginginkan informasi tambahan, Bapak selalu mengatakan "Hubungi press secretary saya," sambil menunjuk kepada saya. Dalam setiap wawancara Bapak selalu menginginkan si press secretary kagetan ini untuk mendampingi. Kondisi kesehatan Bapak saat itu tidak lah prima, tetapi semangatnya untuk bercerita dan bertemu teman-teman wartawan membuat saya harus pandai-pandai mengatur waktu.

Pada hari pemakaman, banyak teman media yang bertanya tentang hal yang paling mengesankan tentang Bapak. Bagi saya, kesederhanaan dan kebersahajaannya adalah hal yang paling menonjol, selain rasa cintanya yang luar biasa terhadap Indonesia. Dharmawan Ronodipuro, suami saya yang juga adalah putra tertua Bapak, menceritakan bagaimana Bapak yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Percetakan Negara menolak komisi dari pembelian peralatan. Bapak malah mengatakan agar uang komisi tersebut dikonversikan menjadi peralatan lagi. Tidak heran sampai akhir hayatnya Bapak tetap tinggal di rumah yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan Direktur Jenderal dan Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan. Rumah Bapak di Jalan Talangbetutu 20 dicicilnya dari negara selama berpuluh-puluh tahun. Suatu hal yang tak terbayangkan akan dialami oleh pejabat masa kini dengan posisi Direktur Jenderal atau Sekretaris Jenderal.

Sejak bulan Juni 2007 itu Bapak lebih banyak menghabiskan harinya di rumah sakit MMC. Bapak berkawan baik dengan para perawat RS MMC. Ia selalu menyapa suster Vera yang berasal dari Flores dengan salam "Malam bae!". Suster Vera dan teman-temannya di lantai 4 RS MMC menyempatkan diri menelpon Mama untuk menyampaikan duka cita mereka. Sebelum terserang stroke Bapak secara rutin mengunjungi klinik Prof Dr Azis Rani untuk memeriksakan penyakit diabetesnya. Di sana, Bapak juga berkawan dengan para perawat. Ia selalu datang dengan satu kotak kue untuk para perawat. Suster Sum dari klinik ini mengatakan bahwa ia merasa sangat kehilangan Bapak, tentu saja bukan karena kue yang tidak akan datang lagi tetapi karena kehangatan Bapak yang tidak akan menyambanginya lagi. Di ruang ICU RSPAD, dalam keadaan terbaring lemah, Bapak masih bisa mencuri hati para dokter dan perawat. Harlan, salah seorang perawat di ruang ICU, selalu setia mencukur jenggot dan kumis Bapak karena Bapak selalu mengeluh kalau dagunya sudah teraba kasar. Selain itu, Bapak juga mendapat perhatian yang luar biasa dari dokter Sylvana Kolibonso. Bukan karena Bapak adalah pasien titipan Menteri Pertahanan tetapi lebih karena mereka telah banyak membaca tentang Bapak dan sikap Bapak yang tidak pernah rewel selama dirawat. Ia selalu dapat dihubungi oleh keluarga yang kadangkala bingung melihat kondisi Bapak. Dokter Sylvana juga lah yang terus mendampingi keluarga pada jam-jam terakhir hidup Bapak sampai Bapak dibawa pulang ke jalan Talangbetutu.

Berita beban keuangan untuk menanggung biaya pengobatan Bapak diangkat oleh Budiarto Shambazy dalam salah satu artikelnya di Kompas. Setelah itu Fauzi Bowo dan Probosutejo datang mengulurkan bantuan tanpa diminta. Niat untuk meminta bantuan kepada Departemen Komunikasi dan Informasi tersandung birokrasi karena mereka tidak mengenal Bapak. Rupanya tidak ada hubungan antara Departemen Penerangan dengan Departemen Komunikasi dan Informasi. Tetapi, sosok yang paling banyak membantu, baik material maupun moril, adalah Juwono Sudarsono. Sejak Bapak pertama kali dirawat di RS MMC Juwono rajin menyambangi Bapak dan kehadirannya selalu membuat Bapak sangat bahagia. Semasa sekolah di Inggris sekitar akhir tahun 50-an, Juwono dan kakaknya sering tidur di rumah Bapak sehingga hubungan mereka sudah seperti bapak dan anak. Atas bantuan Juwono pula akhirnya Bapak bisa dirawat di ruang ICU RSPAD Gatot Subroto tanpa keluarga perlu dipusingkan dengan urusan pembayaran. Tidak hanya itu, secara rutin dokter Nyoman dari Dephankam menelpon dokter di RSPAD untuk menanyakan kondisi Bapak.

Ada banyak kenangan saya selama 7 bulan mendampingi Bapak yang akan saya tuliskan dalam kesempatan lain. Yang sampai sekarang sangat teringat dan selalu membuat air mata saya mengalir adalah kecintaannya terhadap Puccini. Puccini telah menyelamatkan nyawa Bapak pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu serdadu kempetai yang menyiksa Bapak setelah membacakan naskah proklamasi sudah siap menghunuskan pedangnya, hanya beberapa inci dari leher Bapak. Tiba-tiba masuk seorang perwira kempetai yang sering duduk bersama Bapak mendengarkan karya Puccini sambil minum whisky single malt. Kepala Bapak akhirnya tidak jadi berpisah dari badannya. Melalui arias dan komposisi Puccini pula Bapak berkomunikasi dengan khaliknya. Sinar kebahagiaan memancar dari matanya setiap kali mendengarkan karya-karya Puccini di hari-hari ia terbaring lemah di tempat tidurnya.

Karya Puccini ini juga yang bergema mengantarkan Bapak keluar dari rumah menuju ke Kalibata.

"Nessun dorma! Nessun dorma! Tu pure, o Principessa, nella tua fredda stanza, guardi le stelle che tremano d'amore, e di speranza!"

http://www.youtube.com/watch?v=VATmgtmR5o4

Comments

ANDRE said…
This comment has been removed by the author.
ANDRE said…
Halo, Tante (or should i call you "kakak"?). Saya Andre, anaknya tante Yulin Tonapa, istrinya "Om Ute". Masih kenal???
Saya sudah beberapa kali berkunjung ke blog tante, tapi baru pertama kali ini saya memberikan komentar.

Turut berduka cita atas meninggalnya kakeknya Sophie

Kualitas tulisan di blog tante bagus deh. Sayang sekali, blognya jarang diupdate.

Popular posts from this blog

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah