Tragedi kehidupan

Sore ini saya seperti dibukakan mata, diketukkan hati, sekaligus diasahkan budi. Betapa seringnya saya berkeluh-kesah, merasa selalu kekurangan dan tidak puas. Namun, seorang pemuda yang saya jumpai hari ini seperti membawa pesan agar saya mensyukuri apa yang sudah saya alami dan peroleh.

Di suatu warung kopi cerita mengalir lancar dari mulutnya. Ia adalah anak tunggal yang selama lebih dari 30 tahun dapat menikmati makan dan tidur yang cukup. Di kamar tidurnya terpampang berbagai poster film koleksinya plus laser disc dan VCD yang tak terhitung. Layaknya rumah tangga kelas menengah, pembantu pun siap melayani seluruh kebutuhan keluarganya. Kawannya tersebar di mana-mana, dari berbagai kelompok dan jenis. Kenyamanan hidup ini rupanya tak bertahan lama. Ayahnya yang memasuki usia pensiun tergiur oleh iming-iming temannya untuk berbisnis. Ia lupa bahwa tidak semua orang mempunyai bakat bisnis.

Sejak itu kehidupan keluarganya mulai berantakan. Ia terpaksa melepaskan pekerjaannya karena beban permasalahan keluarga sangat mengganggu konsentrasi kerjanya. Rumah besar di daerah strategis terpaksa harus dilego, dan mereka pindah ke rumah kontrakan. Rumah kontrakan ini tidak kalah bagusnya dengan rumah mereka sebelumnya, rupanya karena secara emosional mereka belum siap untuk turun kelas. Kepada teman-teman dan keluarganya mereka bahkan mengatakan bahwa rumah itu mereka beli.

Satu tahun berlalu, kemudian mereka tidak sanggup membayar perpanjangan uang kontrak. Ketiganya pun terusir kembali, kali ini tanpa ada uang sama sekali untuk mengontrak rumah lain. Barang-barang mereka yang banyak itu akhirnya dititipkan di rumah salah seorang keluarga, termasuk juga ayah dan ibunya yang ikut menumpangkan badan di sana. Pemuda ini memutuskan untuk memisahkan diri karena ingin meraih kembali semua miliknya yang sudah hilang itu, satu demi satu. Hidup sendiri tanpa orang tua, tanpa pekerjaan dan tanpa uang tentunya bukan hal yang mudah. Apalagi ia sangat gemar membaca. Tak ada lagi internet, tak ada lagi mister google. Ia pun menumpang hidup pada seorang temannya.

Ketika saya bertemu dengan dia di warung kopi, ia membawa tas yang cukup besar. Kemudian baru saya tahu alasannya: dia mengambil koran-koran yang disediakan secara gratis di warung kopi itu untuk dibaca di rumah. Ia juga menceritakan bagaimana ia bisa hidup dengan hanya mempunyai uang sebesar (atau sekecil) 5000 rupiah.

Semua ini diceritakan tanpa ada rasa sedih. Yang tertangkap adalah rasa getir.

Saya langsung mengucap terimakasih atas segala yang saya miliki, keluarga saya, anak-anak saya serta makanan dan minuman yang bisa saya kecap setiap harinya.


Comments

ANDRE said…
"Saya langsung mengucap terimakasih atas segala yang saya miliki, keluarga saya, anak-anak saya serta makanan dan minuman yang bisa saya kecap setiap harinya"

---> terima kasih kepada siapa???
Louisa Tuhatu said…
Mengucap terimakasih tidak harus selalu "kepada siapa". Mengucap terimakasih adalah suatu ungkapan perasaan, ia tidak memerlukan obyek.

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah