Bali dan plastik

Setelah berita bagus tentang penghentian reklamasi Teluk Benoa, Bali kembali memberi harapan dengan melarang penggunaan plastik sekali pakai mulai tahun 2019. Plastik sekali pakai (PSP) adalah segala bentuk alat atau bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric dan diperuntukkan untuk penggunaan sekali pakai. Sayangnya, Peraturan Gubernur Bali dan Peraturan Walikota Denpasar hanya memasukkan tiga jenis PSP yang dilarang yaitu kantong plastik, styrofoam, dan sedotan plastik.

Pemerintah Provinsi Bali memberi waktu 6 bulan bagi produsen, pemasok, dan pelaku usaha untuk mematuhi Pergub yang ditetapkan pada 21 Desember 2018 itu.

Sampah plastik terbesar sesungguhnya adalah dari botol plastik dan gelas plastik, terutama yang digunakan oleh minuman dalam kemasan. Yang tidak kalah banyak jumlahnya adalah kemasan mie instan. Sampah plastik ini akan mudah ditemui di pantai-pantai yang indah, bahkan di dalam lambung binatang laut.

Aqua Danone tahun lalu meluncurkan kampanye #bijakberplastik yang, seperti umumnya kampanye-kampanye serupa, hanya berhenti sebagai seremoni, pemberitaan media, kegiatan public relations untuk mendukung program marketing, tanpa ada perubahan yang signifikan. Perlu ada suatu gebrakan besar dari pemerintah, perlu ada suatu Undang-undang yang mengatur penggunaan plastik dalam kehidupan manusia. Program penyadaran masyarakat atau pendidikan mengenai bahaya sampah plastik tidak cukup. Tanggung jawab mengurangi sampah plastik bukan hanya ada di bahu LSM atau sekelompok orang. Itu adalah tanggung jawab kita semua! Dan tanggung jawab ini harus dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang kuat, yang memberi sanksi pada mereka yang melanggar.

Tidak bisa dipungkiri bahw plastik berperan besar dalam kehidupan manusia, ia ada di hampir seluruh benda di sekitar kita. Mulai dari kendaraan yang kita pakai, perangkat elektronik dan hiburan di rumah dan kantor, alat kesehatan, penunjang pendidikan, dan lain-lain. Yang patut kita awasi adalah penggunaan PSP karena dampaknya pada lingkungan.

Pemerintah perlu menerapkan pajak yang lebih tinggi pada produk-produk PSP dan memberi subsidi bagi produk-produk alternatif yang ramah lingkungan. Konsumen masih lebih memilih menggunakan kantong plastik ketika berbelanja karena gratis, sementara harga tas atau kantong belanja yang dapat dipakai berulang kali masih tergolong mahal. Di modern retail, harga tas belanja ini paling murah adalah sekitar 30 ribu rupiah walaupun ada juga yang menjual seharga 15 ribu. Ketika dihadapkan pada pilihan antara yang tak berbayar dan yang berbayar, sudah pasti konsumen akan memilih yang tak berbayar.

Produsen perlengkapan rumah tangga juga dapat mengambil langkah besar dalam mengatasi masalah sampah ini. Perusahaan seperti Unilever misalnya, yang membuat produk-produk pembersih rumah dan makanan dalam kemasan isi ulang berbentuk pouch, dapat mulai menyediakan refilling tanks di supermarket, mengajak konsumen membawa botol dari rumah untuk isi ulang dengan harga lebih murah. Ada beberapa LSM atau komunitas yang mencoba mendaur ulang plastic pouch menjadi tas dan sebagainya. Tetapi hal ini tidak dapat mengurangi sampah plastik karena jumlah yang digunakan untuk daur ulang dan sampah yang dihasilkan tidaklah seimbang. Bahkan beberapa produk hasil olahan ini terlihat sangat mulus seakan langsung datang dari pabrik, bukan dari pemulung. Mungkin ini adalah bagian dari program greenwashing perusahaan.

Kita harus mulai berubah menjadi manusia yang mawas diri dan peka membaca isyarat dari semesta. Bumi kita tidak menjadi semakin muda, dunia juga menjadi semakin sesak. Kita harus berbagi, bukan dengan sampah tetapi dengan sesama makhluk hidup.

Pantai Berawa, 3 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah