Membaca ayat-ayat koran hari ini...dengan pilu :(

Hari ini saya tidak bisa merenung karena mata saya dibasahi air-mata. Mata yang biasanya menerawang mengolah pikir kali ini menatap kabur ayat-ayat koran yang terpampang di hadapan saya.

Ada banyak penyesatan pesan di dalam berbagai liputan media massa hari ini, baik cetak maupun elektronik. Penyesatan yang sangat gamblang bagi orang yang cerdas membaca. Nama saya mendadak sontak menjadi terkenal. Wanita keturunan Ambon yang bukan siapa-siapa ini menjadi bulan-bulanan hinaan dan tuduhan keji dari keluarga orang besar yang sangat dikaguminya. Bagaimana tidak pilu....

Dari tadi pagi hati saya terbelah. Di sisi yang satu dipenuhi dengan kemarahan karena fitnahan yang sangat keji. Sisi hati ini mendorong saya untuk menuntut balik para penyebar fitnah ini Saya berasal dari keluarga biasa, warga negara Indonesia biasa, tetapi mempunyai kebanggaan tinggi terhadap keluarga. Jadi, ketika nama keluarga saya dinistakan seperti ini saya merasa perlu bangkit dan membela diri. Saya dilahirkan dengan nama Louisa Tuhatu, dan sampai sekarang masih tetap menyandang nama tersebut dengan penuh kebanggaan. Saya tidak pernah berubah menjadi Louisa Ronodipuro walaupun suami saya adalah Dharmawan Ronodipuro. Karena itu, saya samasekali tidak memahami tuduhan bahwa saya menggunakan nama besar Jusuf Ronodipuro untuk kepentingan saya pribadi. Dalam berbagai tulisan saya mengenai Jusuf Ronodipuro di Percik, saya ungkapkan rasa hormat yang tinggi terhadap beliau dan betapa "bangganya" saya karena diberi kesempatan melayani beliau di saat-saat terakhir saat terbaring lemah akibat sakit. Semuanya saya lakukan karena rasa hormat kepada salah satu pejuang bangsa.

Di sisi hati saya yang lain ada keengganan untuk menanggapi permasalahan ini karena berarti harus mengorek-ngorek cerita keluarga yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik. Dharmawan dan saya ketika dihubungi oleh Indo Pos dan Seputar Indonesia kemarin dengan tegas mengatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Titik. Dharmawan bahkan meminta teman-teman media untuk membiarkan almarhum Jusuf Ronodipuro beristirahat dengan tenang. Dia sangat kecewa karena hal ini dibeberkan kepada media massa seperti kisah sinetron. Padahal, kasus ini sudah dibawa oleh "mereka" ke jalur hukum dengan mengadukan Dharmawan sebagai pencuri dan Dharmawan sudah siap untuk menghadapinya. Membawa permasalahan ini ke ranah publik seperti menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Nah, sisi hati yang ini selalu menahan saya untuk tidak terpancing dalam skenario ping-pong yang ditawarkan oleh pihak pemfitnah. Ibu saya, yang juga disebut-sebut dalam berita pers mereka, dengan nada yang sedih berusaha menyabarkan saya dan mendorong saya untuk menyerahkan semuanya pada pengadilan Tuhan. Sesuatu yang sebetulnya sulit dilakukan oleh seorang agnostik seperti saya.

Beberapa teman dan keluarga menghubungi kami berdua untuk mendapatkan klarifikasi. Yang bisa saya sampaikan adalah beberapa kesalahan faktual yang tertuang dalam pernyataan pers mereka, sehingga dapat dikategorikan sebagai fitnah terhadap saya. Permasalahan tuduhan pencurian tidak akan saya bahas karena Dharmawan yang lebih berhak menanggapinya.

1. Dari berita pers yang disiapkan oleh para penuduh, hanya sepertiganya yang memuat inti permasalahan, yaitu tuduhan pencurian lukisan oleh Dharmawan. Selebihnya, atau dua per tiga, adalah mengenai saya dan memuat hal-hal yang tidak relevan sama sekali. Dari sini saya langsung mempertanyakan motifasi sesungguhnya dari kelompok penuduh. Saya melihat bahwa saya lah sesungguhnya yang menjadi sasaran kebencian mereka, untuk hal yang sampai sekarang tidak saya pahami.

2. Mereka mengatakan bahwa saya mengedarkan tulisan mengenai Jusuf Ronodipuro dengan mengatasnamakan keluarga tanpa seizin istri almarhum. Saya bingung.... Suami saya adalah anak tertua dari Jusuf Ronodipuro. Jadi, suka atau tidak suka, saya adalah menantunya. Semua tulisan yang dimaksud adalah tulisan-tulisan di Percik ini yang kebetulan ada beberapa yang dikutip oleh media lain. Jusuf Ronodipuro sempat membagikan cerita-cerita menarik dalam kurun waktu 7 bulan saya membantu merawatnya. Cerita-cerita dan pengalaman saya itulah yang saya tuliskan dalam blog pribadi tanpa ada unsur mempromosikan diri sendiri.

3. Mereka mengatakan bahwa saya mempromosikan sosok Jusuf Ronodipuro sebagai kerabat dekat. Padahal, kepada media yang datang selama Bapak sakit hingga meninggal, saya selalu mengatakan bahwa saya "hanyalah" menantu. Dan menurut kriteria para pemfitnah, menantu sudah tentu tidak sama dengan kerabat dekat :(

4. Mereka mengatakan bahwa Dharmawan setelah menikah dengan saya kemudian meninggalkan keluarganya selama 10 tahun dan baru datang pada saat Bapak telah mulai sakit keras. Tuduhan ini sulit saya jawab karena akan membuka-buka kisah kelabu keluarga. Yang jelas, Dharmawan secara rutin mengunjungi orang tuanya, apalagi di hari Lebaran. Yang jelas juga, saya memang hanya hadir dalam kurun waktu 7 bulan Bapak sakit. Saya tidak merasa malu atas fakta ini. Bahkan saya rasa hal ini semakin menegaskan bahwa saya tidak mempunyai niat mengambil keuntungan atau mendompleng kebesaran nama Bapak. Saya hadir hanya untuk membantu meringankan penderitaan Bapak. Saya tidak mengharapkan ucapan terimakasih. Tatapan mata Bapak yang penuh kasih serta genggaman tangannya yang hangat sudah cukup bagi saya.

5. Mereka meminta saya untuk menghentikan memberi pernyataan di media mengenai Jusuf Ronodipuro serta tidak diijinkan untuk membuat otobiografi tanpa seizin istri almarhum. Kening saya langsung berkerut.... Bagaimana mungkin orang yang hanya menghabiskan waktu 7 bulan bersama Bapak bisa membuat otobiografi?? Pernyataan media seperti apa yang dimaksudkan mereka?

6. Mereka menyebutkan sangat tidak sepantasnya saya menulis di situs PDIP Belanda tanggal 11 Februari 2008 mengenai lukisan Bung Karno. Tuduhan ini akan terbaca lucu bagi yang paham internet. Tulisan yang muncul di situs itu pada tanggal 11 Februari 2008 sudah jelas mengutip tulisan saya di Percik pada tanggal 1 Februari 2008. Tidak heran kalau Pramono Anung sempat meradang mendengar hal ini (Indo Pos, 1/12/08, hal.15). Yang kemudian ingin saya tanyakan adalah aspek "tidak sepantasnya". Apa maksudnya? Apa yang salah dari artikel tersebut? Sementara, dalam berbagai pemberitaan di media massa, artikel itu berkali-kali digunakan sebagai rujukan oleh para pemfitnah dalam pernyataannya. Nama "Soekarno Berdasi Merah" itu adalah nama yang saya berikan pada lukisan kesayangan Bapak tersebut, dan pertama kali muncul dalam Percik tanggal 1 Februari 2008.

Saya, sebagai "orang luar", merasa sangat sedih melihat kejadian ini. Hal ini sangat tidak mungkin terjadi pada saat Bapak masih hidup.... Kalau saja Bapak masih ada, tidak akan mungkin ada kata-kata "Kalau memang harus ditangkap ya ditangkap karena dia sudah jelas mencuri" yang keluar dari mulut seorang ibu kandung kepada anak kandungnya.
Ahhh...

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah