Soekarno berdasi merah


Lukisan Soekarno berukuran kurang lebih 80x120cm ini seolah mempunyai daya magis yang membuat Ryas, anak pembantu berusia 10 tahun di rumah Bapak, selalu menundukkan kepalanya setiap melewati lukisan ini. Memang, dalam lukisan ini Soekarno tampak berbeda dari sosoknya yang tampan yang biasa kita lihat. Basoeki Abdullah melukiskan Soekarno sebagai seorang yang heroik, tangan terkepal ke atas dan dasi merah menjadi suatu pernyataan tegas mengenai kemerdekaan Indonesia yang tidak bisa ditawar. Menurut Bapak, ini lah satu-satunya lukisan Soekarno yang memperlihatkan semangat dan heroismenya. Lukisan ini dibuat pada saat Soekarno berpidato dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada tanggal 19 September 1945.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0509/19/sh05.html
Basoeki Abdullah menggunakan tripleks sebagai medium karena tidak ada kanvas. Di antara lebih dari 40 lukisan koleksi Bapak, lukisan Soekarno ini adalah yang paling disukainya dan tidak akan pernah diberikan atau dijual kepada orang lain. Hal ini mungkin tidak lepas dari kekaguman Bapak terhadap Soekarno yang selalu dilukiskannya sebagai "the great man". Dalam lukisan koleksi Bapak lainnya, Soekarno digambarkan oleh Basoeki Abdullah sebagai pemuda tampan nan berwibawa, tetapi tidak garang.


Bapak memang sangat mengagumi Soekarno, tetapi tidak bisa secara sederhana dikategorikan sebagai "Soekarnois" seperti yang sering dikatakan orang. Dari cerita-ceritanya, saya melihat Bapak sebagai orang yang rasional, melihat sesuatu secara proporsional. Ini juga yang membuatnya bisa membedakan antara sikap politik seseorang dan pribadi orang tersebut. Ketika Omar Dhani dipenjara, Bapak setia menyambangi beliau. Dengan mata berkaca-kaca ketika datang melayat Omar Dhani mengatakan "He is my true friend". Bapak juga rajin mengirimkan bingkisan kepada Jusuf Ishak selama ia ditahan di pulau Buru.


Sikapnya yang proporsional itu pula yang membuat Bapak masih "dipakai" di masa-masa awal Orde Baru. Pengabdiannya adalah untuk Indonesia, bukan untuk seseorang. Begitu sang penguasa mulai melenceng, Bapak pun mengambil sikap tanpa rasa takut. Ia tidak ragu untuk bertemu dan berkawan dengan orang-orang yang pada suatu saat dikategorikan dalam daftar hitam. Bersama Ali Sadikin pada pertengahan tahun 1997 Bapak dipanggil ke Kejaksaan Agung berkaitan dengan peredaran buku karya Soebadio Sastrosatomo "Era Baru Pemimpin Baru". Setelah selesai pemeriksaan Bapak ditawari makan siang tetapi ditolaknya dengan berkata "Saya lebih suka pulang daripada menginap di sini". Rupanya sudah ada preseden sebelumnya di mana makan siang hanya menjadi umpan untuk penahanan seseorang.

Dharmawan, suami saya, punya cerita menarik tentang Bapak dan Soeharto. Tahun 1985 Irawan, adik Dharmawan, akan melangsungkan pernikahan dengan Dhanny Dahlan. Sebagai pasangan yang saat itu cukup dikenal publik mereka ingin mengadakan resepsi pernikahan yang besar, sesuatu yang sebetulnya sangat tidak sesuai dengan karakter Bapak. Tetapi ia tidak bisa melawan kehendak putra bungsunya ini. Keributan mulai terjadi pada saat penyusunan daftar undangan, sampai-sampai Bapak harus menitikkan air mata. Irawan ingin mengundang Soeharto, sementara Bapak berkeras agar Soeharto tidak diundang. Alasannya sangat sederhana: kalau Soeharto datang maka sahabat-sahabat Bapak yang masuk dalam daftar "musuh" Soeharto tidak akan bisa datang. Kali ini Bapak menang, Soeharto tidak diundang.

Comments

ANDRE said…
wah, senangnya punya keluarga yg dekat dengan para tokoh bersejarah
ANDRE said…
kak lisa...ups, tante, kok blognya yg lain nggak pernah diupdate???

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]