Pornografi.... Apa itu??

Malam ini topik yang hangat dibicarakan oleh stasiun televisi adalah RUU Anti Pornografi yang merupakan jelmaan dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. RUU yang pertama ditolak mentah-mentah karena definisi pornoaksi yang ngawur dan hanya ada di Indonesia. RUU yang kedua ini juga tidak lepas dari kontroversi, terutama menyangkut pasal-pasal karet dan multitafsir.

Sayangnya, program talkshow televisi sangat dibatasi oleh waktu dan sangat tergantung pada pembawa acaranya. Mutia Hafidz di Metro TV, misalnya, terlihat condong menyetujui RUU ini. Grace Natalia di TVOne mungkin lebih netral tetapi terlalu sering menginterupsi dan melakukan paraphrasing. Hal ini mengakibatkan pokok-pokok pikiran narasumber sering tidak lengkap terungkap.

Pihak-pihak yang mendukung RUU ini berusaha meyakinkan publik yang tidak setuju bahwa semua isu yang menjadi keprihatinan mereka telah diakomodasi dalam RUU terbaru. Berulangkali mereka menggarisbawahi adanya pasal-pasal pengecualian sebagai bukti ucapan mereka.

Saya sangat setuju dengan pendapat Constant Ponggawa di Metro TV bahwa bhineka tunggal ika yang dibangun dengan perjuangan dan pertumpahan darah kini memasuki babak yang mengkhawatirkan. Bagaimana mungkin suatu produk perundang-undangan memberikan pengecualian penerapan di beberapa daerah. Aziani Agus dari F-PAN dengan lantang mengatakan bahwa penggunaan kemben di Bali, misalnya, termasuk yang dikecualikan. Tidak dapat dikategorikan sebagai pornografi karena merupakan bagian dari budaya lokal yang menerima pengecualian dari UU. Ia mengatakan bahwa masyarakat Bali tidak melihat itu sebgai pornografi. Betul. Tetapi, mari kita lihat definisi pornografi yang disebutkan dalam pasal 1 RUU tersebut. Di situ jelas disebutkan bahwa definisi pornografi adalah segala produk yang dapat membangkitkan hasrat seksual [tentunya hasrat seksual kaum pria, yang mendapat tempat sangat terhormat dalam RUU ini].

Ponggawa juga mengangkat isu menarik mengenai bahasa hukum, karena kita tidak boleh lupa bahwa RUU ini adalah produk hukum. Ia menelisik pasal 28 (atau 29, saya lupa) yang mengatur mengenai "pengawasan" oleh masyarakat. Menurut Aziani, pasal tersebut jelas mengatur bahwa pengawasan oleh masyarakat harus dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku, mulai dari pengaduan sampai pada membawa kasus ke pengadilan. Ponggawa dengan jeli mengatakan bahwa pasal ini menyebutkan bahwa pengawasan oleh masyarakat "dapat" dilakukan dengan cara pengaduan sampai pada membawa kasus ke pengadilan. Kata "dapat" di sini tidak sama dengan "harus". Artinya, cara-cara yang disebutkan tadi dapat digunakan dan juga dapat tidak digunakan. Dengan demikian, terbuka peluang bagi preman berseragam atau berjubah untuk berlagak menjadi pengawas.


Ibu Musdah Mulia di TVOne mengangkat isu yang menarik mengenai definisi "membangkitkan hasrat seksual" dan hubungannya dengan telanjang atau berpakaian minim. Ibu Musdah menyampaikan perkataan seorang temannya yang beranggapan bahwa perempuan berjilbab tampak sangat sexy. Nah, kalau begitu, apakah kemudian jilbab juga akan dilarang karena ternyata bisa membangkitkan hasrat seksual seorang pria? Hasrat seksual setiap orang mempunyai ambang yang berbeda. Kalau pria yang duduk di depan saya terangsang hasratnya gara-gara melihat jempol saya, lalu apakah jempol saya harus dihukum?

Ibu Musdah juga prihatin melihat bagaimana perempuan dan anak diposisikan sebagai obyek dalam RUU ini, dilihat sebagai pelaku pornografi dan bukan sebagai korban.

Yang paling menyedihkan adalah sikap ngotot dari para pendukung RUU ini di DPR. Sepertinya ada yang mereka kejar..........

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah