Gerakan mahasiswa 1998 dan 2008

Kemarin malam, Rabu 28 Mei, sambil mengerjakan tugas kantor, saya tanpa sengaja menonton Topik Malam di ANTV. Tertayang di layar TV suasana "demo" mahasiswa di Universitas Borobudur. Melihat lagak-lagu para mahasiswa ini saya hanya bisa menggelengkan kepala. Entah kenapa, yang terbayang adalah bangsa Indian di Amerika sedang melompat-menari mengitari api unggun. Kalau di sini yang tampak adalah mahasiswa mengitari ban yang dibakar sambil berteriak-teriak.

Salah seorang mahasiswa diwawancara oleh reporter ANTV. Sang mahasiswa mempertanyakan mengapa polisi "hanya" menyerbu dan menangkapi teman-temannya di Unas. Ia menambahkan, dengan nada menantang, bahwa ia dan teman-temannya sedang menunggu polisi berbuat anarki di kampus Borobudur. Ya ampuuunnn..... Tampaknya mereka juga ingin menjadi tenar, masuk TV, menjadi bahan pembicaraan.

Saya membaca polemik di banyak milis mengenai polisi dan mahasiswa. Kebanyakan memang menyalahkan polisi. Saya, yang sudah merasa tidak nyaman dengan "gerakan mahasiswa", menjadi semakin tidak simpati setelah melihat liputan itu.

Gerakan mahasiswa, kalau memang benar ada, tampak lebih eksklusif, tidak lagi inklusif. Demonstrasi buat mereka mungkin merupakan kesempatan untuk tidak kuliah, duduk di atap metro mini sambil keliling kota tanpa ditangkap polisi. Orang yang gemar tampil bisa mengambil corong dan melakukan "orasi" yang isinya sudah bisa diduga. Setelah itu mereka akan bernyanyi-nyanyi. Begitu matahari semakin tinggi, mereka akan mulai bubar, kembali duduk di atap metro mini. Saya sering iseng memperhatikan wajah-wajah mereka yang duduk di atap itu. Terlihat sekali betapa bangganya mereka. Seakan mereka adalah pahlawan bangsa.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan kondisi di tahun 1998. Saat itu gerakan mahasiswa terasa lebih inklusif. Dari kantor saya di kawasan Kemang saya rela bergabung dengan mereka di Sudirman dan Senayan. Masyarakat dengan sukacita membawakan makanan dan obat-obatan untuk mahasisa di berbagai kampus. Mahasiswa tidak bergerak sendiri dan membiarkan masyarakat menjadi penonton. Mahasiswa bergerak bersama masyarakat.

Apa yang salah saat ini? Masyarakat, termasuk saya, mengomel karena jalanan menjadi macet tidak karu-karuan gara-gara "gerakan mahasiswa". Kekesalan saya melihat ulah mereka mungkin sama dengan kemarahan saya karena diberhentikan oleh polisi di jalur cepat Sudirman gara-gara kelompok moge akan lewat. Atau mungkin sama dengan kejengkelan saya karena diberhentikan polisi pada jam sibuk pulang kantor selama lebih dari 20 menit hanya gara-gara presiden dan rombongannya yang banyak itu akan lewat.

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah