Makan dan rokok

Pagi-pagi, hari ini, saya sudah harus membaca berita menyedihkan tentang nelayan di Indramayu yang tercekik hutang. Berita di Kompas ini diturunkan dengan judul yang mengiris hati "Mereka yang kian tercekik".
Utang Boris, sang nelayan yang pastinya bukan orang Rusia, dikatakan sudah mencapai 17 juta rupiah kepada pedagang BBM dan 1,4 juta rupiah kepada bank. Padahal, pendapatannya dari seminggu melaut hanya 50.000 rupiah. Model pembangunan yang timpang ditenggarai sebagai penyebab kemiskinan nelayan, bukan perubahan iklim yang sedang sibuk didiskusikan di Bali saat ini (sambil berjemur di tepi pantai).
Hati saya sedih membaca berita ini. Tetapi saya menjadi semakin sedih ketika membaca rincian biaya yang mencapai 4,8 juta rupiah sekali melaut. Di dalamnya terkandung biaya 1 juta rupiah untuk "makan dan rokok". Di tengah kemiskinan yang mencekamnya, Boris masih rela menyisihkan uangnya untuk membeli rokok. Rokok telah menjadi candu yang tidak kalah berbahaya dibanding narkoba. Yang lebih meresahkan, bahaya rokok ini tersamar, tidak terasa langsung. Apalagi rokok sangat mudah diperoleh, dijual sampai ke pelosok negeri yang paling ujung.
Nikotin yang terkandung dalam rokok mempunyai efek candu atau adiksi. Makanya perokok sulit untuk berhenti. Artinya, tiap hari, siang dan malam, perokok akan terus menyalakan rokoknya dan menghirup jutaan partikel bahan beracun hasil pembakaran rokok.
Untuk Boris, mungkin ia mengatakan bahwa harga rokok yang dibelinya "tidak seberapa", mungkin ia menghisap rokok Jambu Bol yang tidak semahal Marlboro. Tetapi, tidak ada perbedaan bahaya antara rokok mahal dan murah. Dan harga yang murah itu kelak harus ia tebus dengan biaya pengobatan yang sangat mahal, yang juga mungkin tidak bisa menyelamatkan hidupnya.
Atau, apakah ini tindakan bunuh diri yang nyaman agar bisa keluar dari lilitan hutang?

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah