Selebriti musiman

Bulan Agustus adalah bulan yang meriah, paling tidak meriah dengan umbul-umbul merah putih. Setiap RT pun mulai membentuk 'panitia' 17 Agustus yang tugas utamanya adalah mempersiapkan berbagai lomba, utamanya panjat pinang. Perusahaan jasa telekomunikasi tidak pula mau ketinggalan, mereka menawarkan nada dering berupa lagu-lagu perjuangan kemerdekaan.

Di antara berbagai keriaan itu sangat menarik disimak fenomena 'selebriti musiman'. Mereka adalah sosok-sosok gaek yang merupakan saksi-saksi hidup perjuangan kemerdekaan, pelaku sejarah. Kalau menggunakan terminologi Nielsen, rating-nya mendadak naik! Ada yang menjadi selebriti dengan menceritakan kembali peristiwa bersejarah yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Tidak jarang juga terlihat para 'mendadak selebritis' yang diulas dengan lebih menampilkan 'kemiskinannya'. Saya bisa memahami tujuan produser acara TV adalah menggugah negara maupun indivudu untuk mau membantu para pejuang yang terlupakan. Tapi, seharusnya hal-hal seperti ini menjadi isu yang terus diulas, tidak hanya pada 'musim' Agustusan. Wajah kemiskinan yang menimpa para pejuang ini akan diekspos habis-habisan, para penonton menggumam "aduh, kasihan sekali nasib para pejuang itu." Sampai di sini cerita akan berhenti. Besoknya dan besoknya lagi, sang pejuang pun tetap saja bergelimang dengan kemiskinan.

Mengapa tidak ada LSM yang memperjuangkan nasib para pejuang ini? (Saya tidak suka menggunakan istilah 'mantan pejuang' karena sekali pejuang ia adalah tetap pejuang.) Apakah karena tidak laku dijual ke donor? Saya selalu ingat perkataan "bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai sejarahnya", dan para pejuang ini adalah bagian dari sejarah. Kenyataannya, apa yang kita lakukan bagi para pejuang itu? Nihil!!!

Akhir bulan Juli saya ke Kuala Lumpur untuk mengantar anak saya sekolah di sana (!!!). Begitu memasuki bulan Agustus langsung tercium suasana kemerdekaan. Bendera berkibar, umbul-umbul terpancang, berbagai pasar malam digelar...semuanya untuk menyambut kemerdekaan Malaysia tanggal 31 Agustus. Yang untuk saya paling mengesankan adalah melihat sebuah kotak di pojok kiri atas halaman depan koran ternama di situ yang berisikan hitung mundur hari kemerdekaan. Jadi, setiap hari di kotak itu akan tertulis "30 hari lagi menuju kemerdekaan", "29 hari lagi menuju kemerdekaan", dst. Bukan main!

Beberapa hari ini saya sibuk mengatur jadwal dan mendampingi Jusuf Ronodipuro melayani wawancara dengan berbagai stasiun televisi. Beliau adalah salah satu 'selebriti musiman' seperti yang saya katakan di atas tadi. Dua bulan lalu beliau, dalam usia 88, terkena stroke dan dua kali harus dirawat di rumah sakit. Biayanya luar biasa besar, terutama untuk ukuran seorang pensiunan pegawai negeri jujur seperti beliau. Saat itu hanya Kompas yang memberitakan hal ini, sehingga ada beberapa tokoh dan pejabat yang datang sekaligus memberikan bantuan biaya rumah sakit. Sekarang, menjelang 17 Agustus, semua televisi datang meminta waktu wawancara. Yang mereka lakukan adalah menelpon, minta waktu, datang, menanyakan hal-hal yang ingin mereka ketahui, dan pergi. Beliau pun kembali menjadi Jusuf Ronodipuro yang tergolek lemah di tempat tidur. Setelah Agustusan nama beliau pun kembali menghilang, sampai Agustusan tahun depan, kalau Tuhan masih memberikan usia panjang.

Dalam suatu wawancara dengan stasiun televisi yang kesekian, beliau tampak menangis saat menceritakan peristiwa tanggal 17 Agustus tahun 1945. Beliau menangis saat menyebut nama Bung Karno dan beberapa temannya yang sudah tidak ada, seperti Basuki Abdullah.

Di satu sisi saya ingin menolak beliau dijadikan selebriti musiman dengan menolak permintaan wawancara ini. Tetapi, di sisi lain, beliau tampak sangat bahagia dan bersemangat setiap kali menceritakan peristiwa tahun 1945 dan 1951 (perekaman lagu Indonesia Raya dan perekaman pembacaan ulang naskah proklamasi oleh Bung Karno) di mana beliau terlibat aktif. Beliau sanggup sampai dua jam bercerita dengan lengkap dan runut. Setelah itu, malamnya beliau akan tertidur pulas dengan mimpi yang indah (terlihat dari igauannya). Hal inilah yang membuat saya terus meladeni permintaan wawancara. Selain itu, saya juga ingin orang tahu sejarah yang sebenarnya dari sang pelaku sejarah. Hal ini untuk menghindari para 'spekulan' sejarah seperti yang terjadi saat ini menyangkut lagu Indonesia Raya.

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah