Siapa yang bertanggungjawab ?

Gunawan kabur lagi !!!

Demikian headline Kompas hari Sabtu ini. Aku tidak tahu perasaan apa yang timbul begitu membaca judul ini... antara tertawa dan menangis...
Gunawan adalah terpidana mati kasus pembunuhan berencana terhadap boss PT Asaba. Ia sudah pernah kabur dari penjara dan tertangkap. Pada saat tertangkap dan dalam perjalanan menuju penjara ia masih berusaha kabur dengan "merampas" senjata petugas yang mendampinginya. Usaha ini gagal hanya karena senjata itu tanpa sengaja meletus dan mengenai kakinya. Sial memang....

Setelah itu ia ditahan dengan penjagaan "extra ketat", apapun definisinya.
Kompas melaporkan bahwa Gunawan kabur "secara baik-baik": ia tidak merusak kunci gembok, tidak menjebol pintu, tidak melukai penjaga.... Bisa dikata, Gunawan adalah pelarian yang "sopan". Sampai di sini aku masih tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa....

Setelah kejadian ini muncul di media massa, sang Menteri Kehakiman langsung melakukan sidak atau inspeksi "mendadak". Ia mengunjungi penjara Cipinang, melongok ruang tahanan Gunawan yang kosong melompong, kemudian mengatakan bahwa dari mulusnya pelarian Gunawan ini maka ia menduga ada konspirasi dengan orang dalam. Ia lantas memerintahkan jajarannya untuk melihat "kemungkinan adanya konspirasi" itu. Hari ini Kompas melaporkan bahwa ada dua orang penjaga yang diduga lalai menjaga ruang tahanan Gunawan. Dan kedua penjaga ini mendapat sanksi administrasi berupa pemindahan tempat tugas.

Cerita selesai di sini !!!
Sekarang tugas polisi untuk mengejar Gunawan !!!

Aku tidak tahu apakah memang ini dapat dikatakan stereotype bangsa kita. Selalu menggampangkan masalah dan menyulitkan prosedur.

Setiap kali ada masalah yang melibatkan birokrasi selalu dikatakan "bila terbukti bersalah maka...". Tidak bisakah mulai ditanamkan rasa tanggung jawab? Dalam hal kaburnya Gunawan dari penjara Cipinang maka selayaknya seluruh petugas di Cipinang, termasuk kepala penjara, diberhentikan dari pekerjaannya. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan mekanisme kontrol. Kalau setiap staf sadar bahwa kesalahannya atau kesalahan seorang staf lain dapat membahayakan masa depan seluruh staf maka secara otomatis akan terjadi mekanisme kontrol. Jadi tidak ada lagi keadaan dimana yang kecil dikorbankan untuk kepentingan yang besar.

Bila ditarik ke tingkat yang paling tinggi, ada baiknya bila Presiden mulai melakukan pertemuan berkala dengan masing-masing departemen. Saat ini kelihatannya setiap departemen telah menjadi raja-raja kecil. Rupanya semangat otonomi daerah juga merasuki jajaran kementrian. Hal ini bisa terlihat dari cara kita menangani suatu isu: flu burung, kelaparan, bencana alam, polio, demo buruh, terorisme, dll.

Dalam pertemuan individual itu, setiap Menteri harus didampingi oleh seluruh jajaran eselon I. Di sini Presiden dapat meminta pertanggungjawaban dari Menteri terhadap isu/kejadian yang menyangkut kementriannya. Jadi misalnya, Menteri Kehakiman harus dapat menjawab pertanyaan tentang masalah TKI dan kaburnya Gunawan dengan baik. Ia harus bisa menjelaskan alasan kenapa penjara diisi melebihi kapasitas maksimalnya, kenapa rasio sipir penjara dan jumlah tahanan masih sangat kecil, kenapa gaji sipir masih saja kecil, kenapa tahanan "kelas kakap" dapat menikmati fasilitas hotel di penjara. Bila Presiden, sebagai orang yang mengangkat sang Menteri, merasa tidak puas maka ia bisa memberikan peringatan dan tuntutan untuk melakukan perbaikan dalam waktu tertentu. Anggaplah seperti Surat Peringatan I kalau di kantor-kantor swasta. Menteri yang mengantongi SP III langsung diberhentikan. Proses ini dapat menghilangkan tuduhan bahwa Presiden bersikap subyektif atau mendapat tekanan dari kalangan tertentu.

Aku tidak tahu apakah usulan ini dapat diterima oleh Presiden...

Comments

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah