Penguasa moral? Pengawal moral?

Hiruk pikuk soal rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi (kata yang tidak jelas asalnya !) masih terus berlangsung. Aku sendiri termasuk yang tidak mendukung RUU tersebut. Tapi hal ini tidak berarti bahwa aku otomatis setuju dengan pornografi... tidak sesederhana itu !! Meringis aku membaca pernyataan FBR+FPI cs yang secara sederhana mengatakan bahwa mereka yang menentang RUU tersebut adalah pendukung pornografi. Setelah itu, hidungku makin naik ketika aku membaca berita FBR meneror rumah Inul karena ia ikut dalam aksi menolak RUU tersebut. Gerombolan berbaju hitam ini, yang merasa sebagai penguasa Jakarta hanya karena memakai embel-embel "Betawi", lalu juga mengusir Inul dari Jakarta.

Mari kita kembali ke masalah pornografi.
Sebagai perempuan, aku merasa kaumku lah yang bisa dikatakan sebagai "korban". Kami diperkosa, dipermalukan, dihina... dan masih banyak perlakuan yang merendahkan kami. Toh, dalam RUU tersebut, kami pula yang menjadi subyek utama berbagai pelarangan. Kami tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh memakai ini, tidak boleh memakai itu, tidak boleh melakukan ini, tidak boleh melakukan itu.... Lho, kok???
Bukankah seharusnya hukum lebih banyak menyorot pelaku kejahatan? Dan itu semua sudah diatur dalam berbagai UU kriminal yang ada, dan yang tidak diterapkan dengan benar. Mengatasi pornografi dan segala akibat buruknya bukanlah dengan cara menciptakan UU ala taliban, tetapi seharusnya dengan menegakkan hukum yang sudah ada.

Aku seringkali merenung.... Kalau si burung tidak bisa melihat paha, kenapa pahanya yang harus ditutup?? Bukankah seharusnya si burung itu yang dikurung atau, kalau perlu, dipotong?? Kenapa jadi si paha yang salah?
Aku juga merenung... Kalau syahwat laki-laki tidak bisa dikontrol karena otaknya kotor, apakah kami yang harus dihukum?
Bukankah di dalam kitab suci juga dikatakan bahwa kalau matamu membuat engkau berdosa, cungkillah dia. Kalau tanganmu membuat engkau berdosa, potonglah dia. Kalau otakmu membuat engkau berdosa, musnahkanlah dia. Kalau burungmu membuat engkau berdosa, enyahkanlah dia. Jadi, pendekatannya adalah refleksi diri dan bukan menyalahkan orang lain.
Bukankah begitu?

Aku kemarin membaca berita tentang meningkatnya angka perkosaan di Aceh setelah tsunami. Dikatakan juga bahwa penerapan hukum syariah di Aceh ternyata tidak menghentikan tindakan perkosaan terhadap perempuan. Dan yang lebih menarik, ternyata perkosaan itu lebih banyak terjadi di kalangan yang dekat. Misalnya, paman terhadap keponakan, tetangga, ayah terhadap anak, dll. Berbicara tentang Aceh tentu yang terbayang adalah perempuan dengan busana serba tertutup dan berkerudung. Tidak ada paha terbuka !! Tapi, kalau otak sudah kotor ya tetap saja matanya bisa menembus balutan busana "sang korban". Jadi, apa yang bisa dilakukan RUU APP untuk mencegah kejadian seperti ini????

Para pendukung draft undang-undang ini selalu menggunakan argumentasi moral. Betapa sempitnya definisi "moral" bagi mereka. Mereka lebih suka sibuk mengartikan moral sebagai urusan paha dan dada perempuan. Bagaimana dengan koruptor yang rajin melakukan ritual agama? Bagaimana dengan negara yang menelantarkan fakir miskin? Bagaimana dengan pedagang narkoba yang meracuni generasi muda? Bagaimana dengan para pencuri sumber daya alam untuk kepentingannya sendiri? Bagaimana dengan premanisme yang meneror orang? Dan masih banyak lagi hal-hal menyangkut moral yang lebih penting diurus daripada sekedar masalah paha dan dada perempuan.

Comments

Eva.M said…
Nulis lagi donk.

Popular posts from this blog

Jusuf Ronodipuro

Agama saya cinta [mengutip Gede Prama]

Soekarno berdasi merah